6 Caraku Untuk Nggak Lagi Benci Pelajaran Sekolah

Nilai ujian Sejarah semester pertama hingga kelimaku cuma naik 18 poin: 37 menjadi 55 per seratus. Tapi pandanganku terhadapnya berputar 180 derajat.

aan
4 min readDec 3, 2020

--

Foto oleh Ben Mullins di Unsplash

Temenku Arsyad membahas growth mindset (pola pikir bahwa kemampuan dan minat kita dalam bidang apa pun bisa dikembangkan, dan dengannya bisa bikin kita skilful dalam akademik tanpa perlu memusingkan bakat) lewat video YouTube-nya sekitar sepekan yang lalu. Awalnya, aku ingin nulis lebih jauh tentang itu, terutama gimana cara ngadopsi mindset ini. Tapi kayaknya videonya Satu Persen atau konten-konten lainnya udah cukup untuk itu.

Meski begitu, ada satu faktor yang jarang dibahas, tapi kurasa menghambat banget penanaman growth mindset ini, khususnya di kalangan pelajar: kebencian akan pelajaran sekolah.

Tulisan ini berisi enam cara (atau mindset) yang kuterapkan (entah secara sengaja, entah tidak) selama duduk di bangku SMA, yang berhasil memadamkan kebencianku terhadap banyak pelajaran sekolah — dan bagaimana ini ngebantu numbuhin growth mindset-ku.

Seenggaknya, aku bisa dapet pahala.

Menurut Islam, manusia pada hakikatnya hidup untuk beribadah. Orang-orang Islam make the most out of their lives: bercita-cita, belajar itu belajar ini, menyukseskan karir, dan seterusnya; dalam rangka meningkatkan kualitas hidup yang memberikan mereka “area” yang lebih luas untuk beribadah. In a sense, orang Islam berjuang untuk memperluas privilege mereka buat beribadah.

Yang keren dari konsep ini adalah usaha meningkatkan kualitas hidup itu sendiri, misalnya belajar di sekolah (i.e. patuh terhadap guru), juga udah kehitung sebagai ibadah (asalkan ikhlas). Thus, at the very least, semembosankan apa pun tugas sekolah, kukerjakan saja dalam rangka mematuhi guru; there’s nothing to lose anyway. (Kalo ngerjakannya dengan menyontek; itu mah lain cerita.)

Latihan menghadapi “kesia-siaan” kehidupan

Mindset yang lebih universal untuk menghadapi pelajaran, yang kadang terasa sia-sia, adalah dengan ngeliatnya sebagai pengembangan karakter.

Berdasarkan pengalaman, “kerjaan sia-sia” (bisa berkaitan dengan apa saja) akan terus muncul sepanjang kita hidup. Ini produk sampingan dari berbagai hal yang membusuk oleh zaman, tapi masih terlalu besar untuk dimusnahkan (termasuk misalnya, uhm, tradisi-tradisi).

Jangan terlalu membenci pelajaran; bersikap ‘udahlah kerjain aja’ membuat pelajaran sekolah menjadi “tidak sia-sia” karena itu melatih perseverance dan karakter yang resilient dalam mengantisipasi urusan “sia-sia” lainnya di masa yang akan datang. Agak aneh, but it works.

Mau nggak mau, harus dipelajari; jangan mau tergopoh-gopoh.

Nggak menyontek dalam ujian sebenarnya mengandung kemalasan tersendiri: gonta-ganti tab dari laman soal ke brainly.com, kemudian buka group chat, kembali ke brainly.com, kemudian gugel, dan seterusnya (sembari dikejar waktu) terlalu melelahkan ketimbang ngerjakan dengan santai karena semuanya udah di luar— atau di dalam? — kepala (dengan sedikit persiapan).

Meski mengidap kemalasan itu, tentu, aku juga pernah menyontek dengan dalih “bereksperimen” (seperti apa rasanya menyontek); tapi boi, hectic betul. Bergantung dengan kunjaw dari grup sebelah rasanya seperti tergopoh-gopoh dalam lari maraton; ditemani ketidakpastian bisa mencapai finish atau tidak — entah kunjaw-nya valid entah ngaco — sementara jauh di depan, mereka yang siap, mendekati finish dengan santai.

Membenci pelajaran bikin malas belajar; memojokkan kita ke posisi tergopoh-gopoh itu tiap saat. Bagiku, itu melelahkan. Ini bisa jadi alasan untuk nggak terlalu membenci pelajaran sekolah. (Yeah, ini mungkin unpopular opinion, tapi siapa tahu ada yang sependapat denganku.)

Bukan pelajarannya, tapi pendekatannya.

Perkembangan sistem pendidikan yang nggak mulus banyak mewariskan praktik pengajaran yang menghambarkan pelajaran sekolah; menutup mata kita dari keindahan dan keseruan topik-topik pembelajaran yang sebenarnya; bikin kita benci.

Nyari sumber belajar lain, misalnya Zenius atau Khan Academy (atau yang membahas sudut pandang lain terhadap pelajaran kayak Kok Bisa?), merupakan penyegaran yang jangan sampai terlewatkan.

15 mata pelajaran = 15 perspektif

Nontonin Khan Academy (dan platform-platform yang kusebutkan tadi) membuatku ngeliat tiap pelajaran sebagai sebuah perspektif yang berbeda untuk memandang dunia — alam, masyarakat, dan sekitarnya—namun saling berkesinambungan, yang kalau kita lihat dari jauh, membuat banyak hal jadi masuk akal.

Ah intinya, selain menarik, pelajaran-pelajaran yang dipelajari betulan dan mendalam bakal kerasa keterkaitannya dan relevansinya dengan dunia nyata.

Memang, aku juga belum kebayang gimana caranya teori manajemen pergelaran tari bisa mencerahkan hariku — terlalu spesifik. Tapi sekadar menyingkirkan kebencian terhadap pelajaran itu secara keseluruhan membuatku bisa ngakses aspek lain yang lebih menarik dan aplikatif dari Seni Budaya.

Mencari kesenangan dalam kesempitan

Jujur saja, topik tugas PPKn seperti “pengaruh kemajuan IPTEK terhadap NKRI” terlalu membosankan. Tapi, berkat guru yang membebaskan format pengerjaan tugas tersebut, jadilah esai pendekku yang sebetulnya kumaksudkan untuk menyindir cara yang — dengan segala subjektivitasku — salah ketika orang-orang mengerjakan tugas tersebut (dan bagiku, yang beginilah yang mengasyikkan untuk dibahas ketimbang topiknya sendiri), sekaligus sebagai submission-ku untuk tugas tersebut.

Kalau kamu menangkap maksudku: dalam tugas pelajaran yang menurutmu nggak menarik, sebetulnya bisa dicari celah-celah yang bisa kamu sisipkan hal-hal menarik buat dirimu sendiri. Enggak semuanya bisa begitu sih, tapi pastikan kamu memanfaatkan celah seperti itu kalau ada.

Percaya bahwa seenggaknya pembelajaranmu menghasilkan pahala atau karakter, menyelamatkanmu dari ke-hectic-an sontek-menyontek, membuka matamu terhadap keindahan dan kebermanfaatan pelajaran, hingga menuangkan semua itu ke dalam celah-celah tugasmu; semua itu menyingkirkan tembok kebencian terhadap pelajaran yang selama ini menghalangiku untuk melihat sebesar itulah potensiku (dan potensimu) bisa berkembang — menjadi minat dan mampu.

Berkat itu semua, meski nilai Sejarah semester pertama hingga kelimaku hanya bertambah 18 poin: dari 37 menjadi 55 per seratus — memang aku saja yang kurang meluangkan waktu untuk membaca — setidaknya sekarang buku paket cokelatnya itu nggak sekelam yang dulu rasanya kulihat; bahkan, kelihatan exciting untuk liburan akhir semester ini.

--

--

aan

i write but barely edits—shitty, but raw. current theme: boredom, friendship, mindfulness, inter alia.