7 Hal Yang Kuharap Kutahu Sebelum Ikut Olimpiade Sains
Berdasarkan pengalamanku cuma belajar tiga hari untuk OSN (yang, tentu saja, kacau) hingga uang pendaftaran olimpiade dari FKG UGM-ku balik modal.
Lebih baik menguasai sebagian daripada “nyelup” semua tapi dikit-dikit.
Aku cuma punya 30 hari buat nyiapin seleksi OSN Biologi tingkat kota 2018 kemarin. Seumur-umur belum pernah ikut beginian, langsung kusikat Ringkasan Materi Olimpiade Biologi Internasional Edisi Keenam. Itunganku saat itu: 243 halaman dibagi 30 hari sama dengan 8–9 halaman yang harus kupelajari per hari.
Tentu saja, dengan teknik membaca pasif yang membuat semua pakar metode belajar menangis dan waktu semepet itu, semuanya malah kontraproduktif.
Pelajarannya: kuasai semampumu. Sekali pun cuma seperlima silabus, ada peluang menjawab benar 10 dari 50 soal, ketimbang peluang nol besar gegara “nyelup” semua tapi nggak ada yang “pekat”. Plus, itu bisa jadi “modal” pada masa yang akan datang: aku nggak perlu belajar genetika dan evolusi lagi buat kompetisi Biologi berikutnya (atau buat ujian sekolah) karena udah kupelajari waktu ikut Biosfer XIV dari UB Agustus lalu.
Pentingnya “kurikulum” sendiri yang 3R: reliable, “readable”, relevant.
Semakin ke sini, materi olimpiade makin melimpah. Bahkan, ada penyelenggara yang ngasih e-book biar peserta nggak pusing nyari lagi. Tapi, adakalanya nggak semudah itu.
Aku kebagian mempelajari Kedokteran Gigi Dasar: dari istilah medis lubang gigimu itu sampai persentase komposisi bahan tambalan gigi; buat nyiapin olimpiade yang diselenggarakan FKG UGM Oktober lalu.
Silabusnya (yang berisi list topik-topik soal) lumayan sih. Tapi, karena nggak ada rekomendasi bacaan sama sekali, bukan main nyari bahan belajarnya: muter-muter nyobain teksbuk ini itu, artikel ini jurnal itu, sembari ragu, “Ini sesuai nggak sih sama silabusnya?” (Dan memang, ada materi soal yang terdapat di text book A tapi nggak di text book B.)
Belajar dari pengalaman tersebut, terutama kalau olimpiademu nggak ngasih rekomendasi bahan belajar, penting buat sejak awal nyari sendiri “kurikulum" peganganmu yang reliable (kontennya terpercaya), “readable” (bisa kamu baca — paham — isinya), dan relevant (sesuai sama soal olimpiadenya); then stick to it.
Teknik belajar itu penting, tapi jangan remehkan satu hari pun dalam persiapan.
Berdasarkan pengalaman, jarak amanku nyiapin sebuah olimpiade adalah tiga bulan; minimal dua. Bukannya nggak bisa mepet — aku berhasil paham dan hafal 200 halaman Snell’s Clinical Neuroanatomy dalam sepekan pake Anki Flashcards buat Bioscope FK UNPAD Oktober lalu — tapi banyak kegiatan penting lain yang akhirnya tersingkir buat ngegeber itu semua.
Campurkan teknik belajar terbaik (nggak kubahas di sini; kepanjangan) dan kaidah Parkinson (kerjaan bakal nyesuaikan waktu yang dialokasikan, sekalipun mepet); semuanya beres. Tapi, jauh lebih efektif dan nikmat kalau silabus olimpiademu dicicil tiap hari. (Jangan sepertiku yang nyiapin seleksi OSN Biologi keduaku literally dalam tiga hari gegara sibuk sama hal lain.)
Bedain “target” sama “alasan/tujuan”.
Salsabiilaa Roihanah, pemborong medali OSN Biologi dan anggota Timnas Indonesia untuk International Biology Olympiad 2017 di UK, lewat video sharing-nya (menit 18:30), menjelaskan:
“Aku membedakan alasan sama target. Alasanku ikut OSN, itu untuk memanfaatkan titipan Allah — nikmat melihat, mendengar, menghafal, berlogika, menganalisis, dsb. — secara positif dan sebagai bentuk rasa syukur untuk itu. Tapi, aku juga pasang target: aku pengen dapet medali emas. Dengan begitu, usahaku bakal mengikuti. Kalo setelah all-out pun targetku nggak tercapai, ya nggak apa-apa; alasanku kan bukan untuk dapet medali.”
Sense of clarity terhadap target
Target harus sinkron dengan apa yang betul-betul diinginkan. Targetku sertifikat juara buat SNMPTN. Kalau nggak pede dan pindah jalan “mudah", “Ah, buat pengalaman aja ini mah. Ga ada ekspektasi apa-apa,” chances are, usahaku dan performaku betulan merosot (dan nggak juara, meski sebetulnya bisa).
Kalo murni nyari pengalaman, kenapa kamu ingin/butuh pengalaman itu? Sekadar memuaskan ego biar terlihat “berusaha"? Nyiapin kompetisi yang lebih serius? Atau nguji betul-tidaknya “Tiga Manfaat Ikut Olimpiade" yang kamu baca di internet?
Kemudian, apa standar buat ngukur tercapai-belumnya targetmu? “Sudah paham mekanisme dan strategi ngerjain soalnya"? “Sudah menguasai teknik belajarnya"? Elaborate.
Semua ini menentukan caramu mempersiapkan/meng-approach olimpiademu. Harus ada kejelasan/clarity dari semua itu.
Inget bahwa kemungkinan besar, kamu nggak jauh beda dengan yang lain.
Aku merasakannya di grand final OKGD UGM kemarin: keadaanku dengan tim lain, kurang lebih, sama aja. Kita sama-sama clueless-nya dengan soal rumit yang dibacakan. Kita sama-sama ragunya menjawab pertanyaan yang asa-inget-tapi-apa-yah (sembari ditungguin juri karena jawabnya kelamaan). Dan yang paling penting, kita sama-sama masih belajar.
Pengalamanku belum banyak; mungkin kompetisi di ajang yang lebih megah seperti OSN memang ganas. Tapi, yang kurasakan kemarin mengindikasikan bahwa kita nggak perlu terlalu terbebani ekspektasi kita sendiri yang ketinggian.
Mending “nyesel” karena salah daripada nyesel karena nggak nyoba.
Soal terakhir babak final berformat cerdas cermat OKGD kemarin meminta kami (tim mana pun boleh jawab) menguraikan suatu proses dalam kedokteran gigi. Beres soal dibacakan, sunyi senyap; semua takut salah jawab.
Untungnya, timku di posisi keempat dari enam (tiga yang lolos): salah pun, pengurangan poinnya nggak merugikan. Kami gas aja: sambil rada tergagap-gagap — nggak dikira muncul soal seperti itu — kami jawab panjang lebar. Keliatannya panitia berbaik hati; timku naik ke posisi kedua.
Terlepas dari takut kehilangan poin, kurasa biang kerok takut-salah-menjawab adalah takut keliatan bodoh. Jujur aja, “sebodoh-bodohnya” jawaban tim lain, aku nggak jadi merendahkan mereka atau gimana. Bahkan dalam kasusku, menyingkirkan ketakutan itu malah berbuah kesuksesan. Entah semenyesal apa aku kalau saat itu nggak berani nyoba menjawab.