Untuk menghadapi tantangan kehidupan di abad ke-21, diperlukan seperangkat keterampilan, 21st Century Skills, yang mencakup keterampilan belajar, keterampilan literasi, dan keterampilan hidup. Secara khusus, keterampilan literasi, terutama di bidang kesehatan (health literacy), sangat esensial untuk menghadapi pandemi Covid-19. Untuk meningkatkan health literacy itu sendiri, sebagaimana akan dibahas lebih jauh, pendekatan positive deviance dapat diterapkan.
Sebagai latar belakang, tanpa kepatuhan masyarakat, upaya pemerintah seperti Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) belum cukup untuk menangani lonjakan kasus Covid-19 akibat munculnya varian virus yang baru. Ketua Tim Peneliti Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, dr. Gunadi, PhD, SpBA mengemukakan pendapatnya:
“Pelanggaran prokes, tidak divaksinasi, [dan] interaksi sosial yang sangat masif merupakan sarana kemunculan varian baru.” (Website Resmi Penanganan COVID-19, 2021)
Ketiga sarana (faktor) tersebut bergantung pada masyarakat dan dapat serta harus diperbaiki dengan health literacy yang efektif. Dengan health literacy yang baik, seorang individu dapat mempelajari berbagai sumber literasi yang kredibel untuk memantau kesehatan diri dan keluarga, mengontrol nutrisi dan olahraga, serta memanfaatkan informasi dan layanan kesehatan yang tersedia untuk memutuskan tindakan kesehatan yang tepat.
Akan tetapi, meningkatkan health literacy masyarakat itu sendiri merupakan tantangan tersendiri. Untuk itu, pendekatan positive deviance dapat diterapkan. Sebuah studi terhadap malnutrisi di Vietnam menunjukkan bahwa mengidentifikasi positive deviants (individu dengan kualitas positif tertentu), mencari tahu bagaimana ia dapat memiliki kualitas tersebut, dan mendorong anggota komunitas lainnya untuk mengadopsi perilaku yang sama dapat meningkatkan kualitas positif yang dimaksud di komunitas tersebut (Sternin & Choo, 2000). Pendekatan ini, yang pertama kali diperkenalkan melalui riset nutrisi lainnya, dikenal sebagai positive deviance (Wishik & Vynckt, 1976).
Sebuah rumah sakit di AS mendorong positive deviants mereka untuk meningkatkan sanitasi di kalangan staf rumah sakit:
“Perawat yang tak pernah menegur dokter yang tak mencuci tangannya mulai menegur mereka setelah melihat perawat lain yang melakukannya. Delapan terapis yang merasa mengenakan sarung tangan untuk memeriksa pasiennya adalah hal yang bodoh diyakinkan dua rekannya yang mengatakan bahwa itu adalah hal yang sederhana.” (Gawande, 2008, hlm. 40)
Dengan mendorong staf “teladan” untuk menormalisasikan kebiasaan positif, rumah sakit tersebut berhasil menurunkan tingkat infeksi bakteri methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) di kalangan pasien (akibat sanitasi staf yang buruk) dari 9% hingga nol persen (Gawande, 2008, hlm. 33–40).
Lewat pendekatan yang sama, mahasiswa yang rajin membaca dapat didorong agar terbuka terhadap orang-orang di sekitarnya mengenai kegiatan dan hasil literasi mereka, misalnya melalui media sosial mereka. Kebiasaan tersebut diharapkan dapat menormalisasikan dan memicu pengadopsian budaya literasi, termasuk health literacy, di lingkungan mahasiswa tersebut.
Sebagai kesimpulan, positive deviance dapat meningkatkan health literacy masyarakat, yang merupakan bagian dari 21st Century Skills, dalam rangka menghadapi Covid-19. Mendorong individu yang unggul berarti membangun masyarakat yang unggul pula: sebuah solusi dari masyarakat, untuk masyarakat.
Daftar Pustaka
- Gawande, A. (2008). Better. Metropolitan Books. Diambil dari https://play.google.com/store/books/details?id=-EUba-LKZ04C
- Sternin, J., & Choo, R. (2000). The Power of Positive Deviancy. Harvard Business Review. Diambil dari https://hbr.org/2000/01/the-power-of-positive-deviancy
- Upaya Tingkatkan 3T dan Vaksinasi di Masa PPKM Darurat. Website Resmi Penanganan COVID-19. Diambil dari https://covid19.go.id/p/berita/upaya-tingkatkan-3t-dan-vaksinasi-di-masa-ppkm-darurat
- Wishik, S. M., & Vynckt, S. (1976). The use of nutritional “positive deviants” to identify approaches for modification of dietary practices. American Journal of Public Health, 66(1), 38–42. Diambil dari https://doi.org/10.2105/ajph.66.1.38