“Aku mau belajar berorganisasi,” gumamku seketika menginjakkan kaki di SMA dua tahun yang lalu. Aku udah pernah sih ikutan komunitas ini atau organisasi itu, tapi belum pernah aja gitu betulan menjabat sebagai seseorang dengan tanggung jawab tertentu.
Dua tahun kemudian, banyak emang yang kupelajari: mulai dari public speaking, time management, leadership, berdiplomasi, bersikap profesional, ̶ ̶ ̶m̶e̶n̶g̶o̶n̶t̶r̶o̶l̶ ̶p̶r̶o̶d̶u̶c̶t̶i̶v̶i̶t̶y̶ ̶g̶u̶i̶l̶t̶ ̶s̶a̶a̶t̶ ngumpul-ngumpul seru ̶n̶g̶g̶a̶k̶ ̶j̶e̶l̶a̶s̶ ̶d̶e̶n̶g̶a̶n̶ ̶i̶m̶i̶n̶g̶-̶i̶m̶i̶n̶g̶ ̶”̶m̶e̶n̶j̶u̶n̶j̶u̶n̶g̶ ̶t̶i̶n̶g̶g̶i̶ ̶k̶e̶k̶e̶l̶u̶a̶r̶g̶a̶a̶n̶”̶; technical skills kayak nyusun teks promosi kegiatan, nge-design poster, dan ngedit video; sampai belajar mengakui bahwa sehebat apa pun kamu, ada aja hal-hal nggak disukai yang harus dilakukan.
Tapi ada seenggaknya tiga hal yang kuharap aku tahu sebelum terjun sejauh ini. Maka, nih, tiga “kekhilafan anak organisasi”, yang kuyakin bisa bikin organisasimu melejit, kalau kamu mau tobat.
Nggak Berpikir Sebelum Meneruskan Tradisi
Jangankan tetek bengek “senioritas” yang ujung-ujungnya hanya sebagai wujud tradisi oleh para oknum; jadwal rapat rutin atau aturan tak tertulis organisasimu juga, to some degree, merupakan “tradisi” — dan hampir nggak ada yang pernah mengkritisinya.
Maksudku, kebayang nggak sih seberapa kontraproduktifnya rapat rutin organisasimu yang berjam-jam itu kalau isinya kurang lebih bisa disampaikan via group chat dalam sekejap? “Eeh kalau gitu gabisa diskusi layaknya rapat langsung dong…” Lhaa mau diskusi gimana, topiknya baru diumumkan ketika rapatnya udah berjalan — mana ada ide cemerlang yang muncul sementara semuanya aja masih sibuk mencerna informasi. “Tapi cuma lewat rapat langsung kita bisa membangun semangat dan keakraban anggota!” Setuju banget, asalkan emang beneran semuanya dateng. Tapi ya enggak selalu bisa maksimal juga kan, misalnya karena ada yang nggak bisa dateng di tengah-tengah social distancing begini. Duh.
Bukannya aku atau kamu — kalo kamu merasakan hal yang sama — bisa ngubah sistem rapat rutin jadi ad hoc semudah itu sih. Tapi maksudku, coba deh lihat berbagai hal yang ada di organisasimu. Kalo nemu sesuatu yang udah jadi tradisi tapi keliatannya either nggak beresensi atau sebetulnya beresensi tapi nggak efektif, buat apa dipertahankan?
Lain kali kamu ngevaluasi suatu program kerja, jangan cuma nanya, “Proker ini berhasil apa nggak?” tapi tanyakan juga, “Proker ini perlu apa nggak?” Kalau nggak, jadikan itu yang terakhir.
Zaman berubah, begitu pula esensi dari keberadaanmu dan kegiatan organisasimu.
Nyusun — Tapi Nggak Mikirin — Visi dan Misi Organisasi
Kebanyakan visi dan misi organisasi di sekolah itu kayak latar belakang proposal karya tulis ilmiah: semua orang yang baca udah tahu kok kenapa semua ini ada; yang mereka butuhkan adalah gimana dan apakah kamu betul-betul akan mengeksekusinya — nggak bisa dibuktikan kalau visi dan misinya gitu-gitu aja.
Tujuan keberadaan suatu organisasi di sekolahmu biasanya udah jelas dan nggak perlu ditanyakan, tapi ya… sering kali nggak tercapai. Maka, lain kali kamu nyusun visi dan misi organisasimu, alih-alih memusingkan kata-kata cantik buat menggambarkan tujuan itu, coba terapkan pelajaran PKn-mu tentang ATHG: identifikasi apa ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan yang bikin tujuan organisasimu nggak tercapai; cari solusinya. Misi-mu dan organisasimulah mengeksekusi solusi tersebut, dan akan jadi organisasi seperti apa — kalau misimu berhasil — di kemudian harilah visi-mu.
Oh, dan jangan sekali-kali nyontek teks visi dan misi leluhurmu sebelum kamu nyusun punyamu sendiri di AD-ART barumu itu. Gelasmu keburu penuh sehingga mau meracik segimana juga, kamu nggak bisa nambahin atau merubah apa-apa lagi kecuali kamu mau mengosongkan dulu gelasmu dan mulai dari awal. Apalagi kalo isi gelas leluhurmu udah basi.
Selain itu, jangan pikir cuma organisasi-organisasi formal kayak OSIS di sekolahmu aja yang butuh visi dan misi. Entah kamu anggota klub jejepangan atau himpunan anak baik yang cinta alam, duduklah sejenak buat mikirkan visi dan misi organisasimu dengan sungguh-sungguh.
Nggak Punya Visi dan Misi Pribadi
Aku memutuskan untuk nggak akan ikut organisasi apa pun ketika kuliah nanti kecuali karena dua hal: 1. Aku genuinely suka dengan organisasi tersebut, atau 2. Ada value yang aplikatif buat hidupku atau karirku, yang nggak bisa kudapatkan tanpa ikut organisasi tersebut.
Dua tahun berorganisasi di SMA udah cukup untuk mengeksposku — dan gimana caranya mengekspos diriku sendiri secara mandiri — ke berbagai skills dan value yang penting buat dicari dan diasah. Tapi udah cukup pula buatku untuk nggak lagi membuang waktuku untuk tetek bengek lainnya dalam organisasi yang wajib hukumnya kalau aku jadi anggota; semua waktu itu bisa kupake buat beneran mencari dan mengasah yang penting buat karir dan hidupku.
Aku emang nggak banyak berkontribusi sebagai anggota organisasi dan nggak semua misi organisasiku tercapai. Tapi satu yang pasti, sebagaimana kujabarkan sebelumnya, aku udah berhasil mencapai tujuanku sendiri: belajar berorganisasi — mempelajari “5W1H” dalam berorganisasi; merasakan seperti apa rasanya berorganisasi, serta apakah memang bermanfaat dan apakah aku akan terus ikutan organisasi nantinya — sebagaimana kusebut di awal tulisan ini.
Banyak orang mengartikan organisasi di sekolah, ultimately, sebagai “keluarga”, “rumah kedua”, “circle persahabatan terbaik”, dan seterusnya. Tapi itu mah emang udah jadi bagian nggak terpisahkan dari berorganisasi, nggak sih? Dan itu pula kenapa nggak ada yang pernah bilang nyesel ikutan organisasi.
Nggak salah kok, ikutan organisasi untuk sekadar nambah temen. Tapi nentuin visi dan misi pribadimu yang lain di samping itu bakal memberikan arti lebih dari sebuah organisasi. Berorganisasi itu lebih dari sekadar “berkeluarga”, kawan. Dan yang “lebih”-nya itu bebas kamu tentukan.
Konklusi
So, to get the most out of your organizational activities, hindarilah tiga “kekhilafan” anak organisasi berikut ini:
- Nerusin tradisi organisasi — termasuk rutinitas organisasi — tanpa berpikir dan mengevaluasinya terlebih dahulu;
- Nyusun visi dan misi organisasi hanya sebagai formalitas — tanpa beneran mikirin masa depan organisasi; dan
- Nggak punya visi dan misi — tujuan — pribadi yang mau dicapai dari ikutan sebuah organisasi.
Tobat dari ketiga hal ini, yang kadang men-challenge status quo, emang menakutkan sih; apalagi di bawah kekangan senioritas yang masih sering cacat. Tapi tutup telinga sama persoalan ini, yang ada cuma bikin berorganisasi terasa membebani — dengan segala tetek bengek yang menumpuk tapi nggak dievaluasi.
Kalo pada akhirnya buat kebaikan dan kebahagiaan organisasimu sendiri, kenapa nggak?