Tip: Tulisan ini sebelumnya telah di-publish di blog pribadi penulis. Klik di sini untuk membacanya di sana!
Aku pernah “minder” karena alasanku ingin jadi dokter rasanya hambar banget.
Maksudnya, kalo tokoh-tokoh protagonis di film-film dokter kesukaanku itu ditanya alasan mereka jadi dokter, ada yang ceritanya waktu kecil suka sakit-sakitanlah — ngerasain jadi pasien thus punya keinginan besar buat nolong orang; ada yang keluarganya meninggal karena penyakit yang gagal disembuhin dokternyalah — mau mencegah orang lain merasakan penderitaan yang sama; atau ada yang bilangnya hobinya ngebedah oranglah — keren sih, tapi kok enak banget gitu kan ya ngomongnya.
Di sisi lain, ada tokoh-tokoh pendukung atau tokoh-tokoh“antagonis” di film-film dokter itu yang kalo ditanya alasan mereka jadi dokter, jawabnya, “Hmm, soalnya orang tuaku nyuruh aku jadi dokter,” atau, “Dokter kan duitnya gede.”
Kalo dua “jenis tokoh” tadi dibandingkan, otakku yang kebanyakan nonton film-film itu langsung bikin dikotomi, “Kalo alasan jadi dokternya karena punya pengalaman menyakitkan — keluarganya atau dia sendiri jadi pasien — atau punya “gairah/bakat alami”, berarti dia dokter “hebat” atau “mulia”. Kalo alasannya “terpaksa”— disuruh orang tua atau hanya demi uang — berarti dia dokter “payah” atau “tidak mulia”.
Stereotip tokoh protagonis film-film dokter itu seakan nunjukin bahwa dokter yang “hebat” atau “mulia” itu harus punya kisah hidup yang tragis untuk bisa menjadi heroik. Dan itu berlaku nggak hanya buat dokter, tapi juga termasuk jadi pengacara, aktor, seniman, ilmuwan, atau apa pun. Seakan harus ada noble calling terhadap suatu profesi sebelum jadi “hebat” di profesi tersebut.
Boi, aku sadar betul semua itu tadi fiksi dan mungkin emang aku aja yang kebanyakan nonton film-film dokter itu, tapi kurasa stereotip ini beneran ada, terutama bagi pelajar yang bentar lagi terjun ke dunia profesional.
Mungkin kamu sendiri bakal hati-hati banget milih kata-kata ketika ditanya alasan cita-citamu — nunjukin motivasi yang “mulia”, padahal mah pengen, katakanlah, jadi dokter biar kaya raya aja — biar nggak dikomentarin jelek.
Semua itu udah jadi common sense sih.
Tapi dewasa ini, aku semacam menyadari sesuatu dan bertanya-tanya, “Emang kenapa kalo ada orang jadi dokter karena disuruh orang tuanya? Kompetensi dokter kan dilihat dari keterampilannya melakukan prosedur penanganan medis. Selama dia terampil dan profesional, ya nggak pentinglah mau dia punya kisah tragis, mau dia mata duitan, atau ‘sekadar’ disuruh orang tuanya. Toh semulia apa pun tujuannya jadi dokter, kalo nggak terampil, ya pasien juga nggak akan percaya.” (Kita ngomongin tentang motivasi itu sendiri ya, persoalan ada yang jadi dokter karena paksaan orang tua atau mata duitan dan karenanya jadi nggak becus mah, beda urusan — kalau pun perlu dibahas, ya nggak semuanya demikian kan.)
Jangan salah, punya motivasi yang “mulia” tentu bisa ngebangun komitmen yang kokoh dalam suatu profesi. Tapi bukan berarti motivasi yang “tidak mulia” nggak bisa membangun etos kerja sama sekali. Karena yang terpenting adalah keberadaannya motivasi, bukan “mulia” atau “tidak mulia”-nya — selama kamu bisa profesional.
Dengan demikian, kamu nggak perlu lagi khawatir alasan cita-citamu itu seperti apa; cukup ada aja, sesepele apa pun itu. Ini penting banget lho, karena banyak banget orang yang, sekali pun udah berusaha mencari, belum juga nemu motivasi atau passion-nya buat nentuin profesi. Dan menurutku, anggapan bahwa suatu profesi harus didasari motivasi yang “mulia”-lah yang mempersulit semuanya.
Kebanyakan kehidupan orang-orang ya biasa-biasa aja, nggak ada kisah-kisah tragis, heroik, inspiratif, atau gimana-gimana yang mendasari motivasi “mulia” kayak di film-film.
Mereka yang kenal denganku sekarang hampir pasti tahu seberapa besar aku pengen jadi dokter. Aku juga akan bilang, “Aku ingin jadi dokter karena mau menolong orang.” Apalagi, ibuku dari kecil pengen jadi dokter (tapi nggak kesampean) plus ayahku demen banget bermain-main sama manajemen pelayanan kesehatan; jadi kayaknya emang paling cocok jadi dokter.
Tapi sampai kelas 3 SMP, terlepas dari orang tuaku yang konsisten banget men-sugesti-kanku — bukan memaksa ya — jadi dokter, aku sama sekali nggak kepikiran jadi dokter.
Waktu itu aku masih nyari-nyari bidang profesi yang sekiranya menarik buatku: pernah kepikiran jadi fisikawan; pernah pengen jadi programmer; bahkan aku pernah ke-ide-an buat jadi arkeolog setelah belajar zaman prasejarah di Khan Academy. Tapi di antara itu semua, belum ada yang sampai bikin aku berkata, “Ini nih.”
Oh, aku juga pernah ingin jadi pianis orkestra. Ada satu pamanku yang mendukungku banget buat jadi musikus; dan ia mengutarakannya waktu kita lagi kumpul keluarga di rumahku. Sepulangnya pamanku dari rumahku, orang tuaku, referring ke obrolan dengan pamanku sebelumnya, kembali mengingatkan, “Jadi musikus mah … kurang lah ya.” (Kami udah ngobrolin hal ini — bagaimana orang tuaku, yang religius, nggak setuju kalau aku jadi musikus karena agaknya kurang valuable dari sudut pandang agama.)
Bermaksud basa-basi, aku nimbrung aja, “Mmhm, mendingan jadi dokter.” Aku cuma membandingkan antara musikus dan dokter berdasarkan value dari segi agama, tapi orang tuaku menginterpretasikannya sebagai deklarasiku untuk beneran jadi dokter — aku nggak pernah bilang ingin jadi dokter sebelumnya.
Sejak percakapan singkat itu, propaganda “Kamu harus jadi dokter” — masih dengan nada sugestif dan bukan paksaan ya — orang tuaku ini makin menjadi-jadi. Aku, yang emang belum punya pilihan lain waktu itu, jadi beneran memutuskan buat jadi dokter. Oleh sebab itu, aku ingin jadi dokter. Tamat.
Dari sana, bisa dibilang keinginanku jadi dokter sebetulnya murni dilandasi sugesti orang tua, dan karena aku belum nemu passion—oh ya, musik, tapi kan tidak di-acc — jadi kayak nggak ada pilihan aja gitu. Itulah yang sempat bikin aku “minder” (alasannya nggak keren banget).
Tapi justru itu juga yang bikin aku berterima kasih banget, karena keputusanku saat itulah yang jadi pemantik semangat belajar ku—dari maksa diri buat belajar sampe akhirnya beneran passionate sama belajar dan kedokteran, dan beneran punya tujuan “mulia” buat nolong orang.
Kalau aku nggak memutuskan jadi dokter saat itu, mungkin sampai sekarang aku nggak akan punya semangat belajar — dan cita-cita — kayak gini. Dan kalau pun ternyata aku nggak ditakdirkan jadi dokter, berkat keputusanku itu, aku tetep punya semangat belajar buat ngebangun karir di profesi yang lain.
Ini membuktikan, bahwa jenis motivasi — entah “mulia” entah “tidak mulia”, kalau memang bisa didefinisikan — nggak begitu berpengaruh terhadap daya juang, baik saat menggapai maupun — kuyakin — saat menjalani suatu profesi; dan pada akhirnya, kita tetep bisa punya profesi yang mulia.
Kalau mau ambil satu pelajaran dari ceritaku, sebetulnya bukan jenis profesi/cita-cita pilihanmu maupun jenis motivasinya yang bikin kamu semangat berjuang — untuk belajar dan terus hidup; tapi aksi menentukan cita-cita — arah hidup — itu sendirilah yang penting.
Dan perhatikan bahwa aku make frasa ‘arah hidup’ dan bukan ‘tujuan hidup’: kalau kamu ngerasa stuck di dalam kehidupan ini, ketahuilah, kamu cuma perlu menentukan satu arah untuk maju (dan kamu bisa mengubahnya nanti, yang penting tentukan dulu aja satu buat sekarang); tujuan mah, selain bisa berubah-ubah tergantung situasi dan kondisimu, bakal datang dengan sendirinya seiring kamu maju.
Jadi, untukmu, khususnya sesama pelajar yang masih mencari arah hidupnya, teruslah semangat nyari profesi impian/cita-citamu. Banyak-banyak eksplor dan tambah pengalaman di berbagai bidang buat mempermudah pencarianmu.
Tapi inget, yang lebih penting bukanlah apa profesinya atau kenapa kamu milih profesi tersebut; melainkan apakah kamu memutuskan atau tidak.
Makasih sudah membaca! Tertarik untuk berdiskusi lebih lanjut? Temui aku via Instagram: @ansharihasanbasri.