Everyone’s Homeschooled! — A Homeschooler’s Diary on Productivity & Time Management — Part 1: Mindset

aan
7 min readAug 25, 2020

--

Foto oleh kylie De Guia di Unsplash

Tip: 1) Halo! Ini adalah bagian pertama dari Everyone’s Homeschooled! — A Homeschooler’s Diary on Productivity & Time Management. Klik di sini untuk membaca bagian 0 (introduksi dari rangkaian Medium Stories ini), bagian kedua, atau bagian ketiga. 2) Mulai dari sini, ‘produktif’ secara implisit mengacu pada ‘produktivitas dan manajemen waktu’.

Aku sempat sering merasa bersalah kalo ‘nggak produktif’. Rebahan doang sambil mandang langit-langit kamar; kek orang merenung di film-film, padahal mah nggak ada apa-apa. Nggak ada tugas sih, tapi kupikir betapa bermanfaatnya diriku kalau aja aku lagi belajar saat ini dan bukan berleha-leha.

Sisi lain diriku berbisik, “Udahlah. Kamu kan belajar terus dari kemarin. Sekarang nyantai dikit. Itu perlu.” Tapi kalimat ini nggak pernah bekerja, karena sebulan kemarin kerjaanku sebetulnya rebahan doang, kayak saat itu.

Mau ku-extend kalimatnya sampe, “Udahlah. Kamu kan udah belajar terus dua tahun ini (di SMA). Sebulan nyantai itu perlu,” juga nggak menjustifikasi apa-apa, karena aku tahu aku cuma menunda-nunda kebangkitanku dari kemalasan ini.

Ini namanya productivity guilt. Sekilas kayak keren (paling nggak buatku, ketika baru kenal dengan istilah tersebut), tapi bahayanya bisa membunuhmu dari dalam.

Foto oleh Caleb Woods di Unsplash

Forgive Yourself: Keluar Dari Jebakan Productivity Guilt.

Aku nggak gitu ingat kapan aku berhasil sembuh dari productivity guilt ini. Tapi di antara resep obatku, sebuah TEDx Talk dari Susan Henkels (sebuah presentasi dari topik yang ia tulis di bukunya, What if There Is Nothing Wrong With You: A Practice in Reinterpretation, yang sayangnya belum kubaca tapi cukup kutangkap idenya dari TEDx Talk-nya) berdampak cukup besar bagiku.

Menurut Henkels, kuncinya satu: forgive yourself. Maafkan dirimu sendiri yang ‘nggak produktif’ ini, yang buang-buang waktu ini. “Kok minta maaf? Bukannya justru harus dilawan?” Sekarang tanya dirimu sendiri, “What if there’s nothing wrong with you? — Gimana kalo nggak ada yang salah denganmu? Gimana kalo ternyata ‘nggak produktif’ dan yang menurutmu buang-buang waktu itu … bukan masalah?” Toh semua orang merasakan productivity guilt. Itu kayak udah jadi hal yang … normal aja. Sebuah fakta, apa adanya. Kalo kamu rebahan dan ga belajar hari ini, atau bahkan sebulan kemarin, terus kenapa? So what?

Psikologi di balik ini belum sepenuhnya kupahami (mungkin Henkels membahasnya di bukunya, tapi aku kan belum baca), tapi satu hal menurutku cukup jelas: kalau kamu menyalahkan dirimu sendiri terus menerus atas sesuatu yang kamu anggap sebagai kekuranganmu, ‘kekurangan’ itu akan terus jadi hambatan, sesuatu yang … terasa sulit kamu lawan. Tapi ketika kamu memandangnya sebagai sesuatu yang nggak bermasalah … yaudah, itu bukan lagi suatu hambatan yang menuhin pikiranmu.

Dalam konteks productivity guilt, ketika kamu bisa rebahan doang tanpa merasa bersalah, rebahanmu sendiri nggak ngembalikan semangat produktifmu. Tapi waktu, tenaga, dan pikiran yang biasanya habis buat mencaci maki dirimu setiap kali ‘nggak produktif’, nggak lagi terbuang sia-sia; kamu punya jauh lebih banyak energi positif buat menyemangati dirimu sendiri.

Masih belum make sense buatmu? Sebuah challenge untukmu: rebahan sesukamu, main game favoritmu, nonton TV series kesukaanmu. Lakukan semuanya sesukamu selama seminggu ke depan (tentunya dengan nggak menelantarkan kelas dan tugasmu, dong). Kuncinya, jangan berpikir macam-macam setiap kamu ‘nggak produktif’. Nikmati aja.

Foto oleh Drew Coffman di Unsplash

Take Your Time: Kamu Nggak Bisa Jadi Produktif Dalam Satu Malam.

Satu-dua bulan pertama PSBB, kuhabiskan buat rehat sejenak dari hiruk pikuk sekolah.

Percaya bahwa there is nothing wrong with me sekalipun ‘nggak produktif’, kutamatkan Final Fantasy VII kurang lebih dalam 40 jam. It was fun.

Malam hari beres kutuntaskan videogame itu, aku semacam berkomitmen, “Mulai besok aku bakal produktif, titik.” Ngucapin itu gampang banget saat itu, ngeliat seminggu ke belakang yang habis dipakai nge-game; dan kurasa udah common sense untuk kembali bersemangat buat produktif setelah semua itu.

Tapi ternyata nggak bisa — jadwal belajarku kacau lagi. Harusnya energi positifmu udah kekumpul dong lewat break bulan kemarin! Ternyata nggak semudah itu. Energiku udah banyak, tapi butuh waktu untuk mengolahnya.

Akhirnya, butuh sebulan lagi buatku ngatur keseharianku: sekalian aja aku nyari info seputar SBMPTN dan SNMPTN plus nge-break down persiapan yang bisa kusisipkan ke kegiatan sehari-hariku; bikin jadwal belajar yang mencakup pelajaran sekolah, UTBK, dan olimpiade Biologi; mengagendakan rutinitas kesehatan kayak olahraga dan rutinitas agama. Intinya, nyusun kegiatan produktif sedemikian rupa sehingga mudah kuterapkan — tanpa perlu pikir panjang, karena udah diagendakan — bahkan di hari-hari malas sekalipun. Barulah produktivitasku agak mendingan.

Yang ingin kukatakan, merancang keseharian produktifmu nggak bisa kamu selesaikan semalam. Kalau jadwalmu selalu berantakan, mungkin rancanganmu kurang matang. Banyak banget aspek yang harus kamu perhitungkan, kecuali kamu mau merombak jadwalmu berulang kali karena banyak kegiatan yang lupa kamu agendakan.

Kamu bisa punya jadwal belajar mandiri yang intensif. Tapi kalau kamu sampai lupa menyisipkan waktu olah raga, jantungmu keburu lelah buat mompa darah ke otakmu sebelum otakmu nerima pelajaran. Apalagi kalau jadwal ibadahmu ketutup sama belajar. Tuhan aja dilupain, gimana rumus matematika? (Menyindir diriku sendiri sih, kadang-kadang.)

Jangan takut buat meluangkan sehari, seminggu, bahkan sebulan buat merancang keseharian produktifmu (jangan kelamaan juga sih, ntar kujelaskan di poin berikutnya). Kualitas hidupmu hari ini menentukan kualitas hidupmu puluhan tahun ke depan. Kamu nggak mau nyesel karena pelit waktu buat hal sepenting itu.

Sebuah challenge untukmu: weekend minggu depan, luangin waktu seharian (sesuai kebutuhanmu sih, tapi pastikan cukup) buat merancang keseharianmu. Bikin jadwal sederhana mencakup jam belajar, jam makan dan minum, me-time (waktu buat apapun yang kausuka), waktu bareng keluarga, jam olahraga, dan jam tidur. Pertimbangin semuanya. Bayangin keseharianmu secara umum sampai saat ini buat referensi, dan buatlah jadwal yang realistis.

Aku udah bikin jadwal tapi berantakan terus! Kalau kamu bilang begitu, dengarkan poinku berikut ini.

Foto oleh Jukan Tateisi di Unsplash

Imperfection is Inevitable: Start Small, Improve Over Time

Kalau si Anu yang seorang programmer nyerah bekerja cuma gara-gara kode yang udah capek-capek ia ketik masih munculin error, orang-orang bakal menertawakannya. Kenapa? Karena (terlepas dari error yang udah jadi kultur di kalangan programmer, lol), nggak ada yang sempurna. Sekalipun program si Anu bekerja, pasti ada hal yang masih bisa dikembangkan.

Merancang produktivitas dan memanajemen waktu, juga sama.

Aku sempat tiga kali merombak jadwal keseharianku sebulan tadi: jadwal bangun tidur yang kecepetan, jam belajar yang bentrok terus sama sarapan pagi, durasi persiapan UTBK dan olimpiade yang terlalu padat sampai ga bisa bernapas, dan masih banyak lagi.

Pelajaran yang kudapat setelah berputus asa: aku nggak bisa bikin jadwal yang sempurna, apalagi sekali jadi. Jadwalku harus kukembangkan seiring dengan waktu. (Ini juga mengapa terlalu lama membuat jadwal nggak akan bekerja, karena emang nggak mungkin sempurna.)

Menerima fakta itu, kuambil jadwal terbaruku. Kugeser waktu-waktu kegiatanku menjadi serealistis mungkin. Kuambil secarik kertas dan kutempelkan di dindingku. Di atasnya kutulis ‘Evaluasi Mingguan’.

‘Daily Schedule Flaws’ (Evaluasi Mingguan Jadwal Penulis)

Idenya begini: kujalankan jadwal tersebut selama seminggu. Setiap kegiatanku tidak sesuai dengan jadwal, kucatat di kertas tersebut. Di akhir minggu tersebut, kuevaluasi apa saja ketidaksesuaian yang timbul cukup sering atau terlalu menghambat; itulah yang harus kurevisi dari jadwalku.

Contoh: Saat itu kujadwalkan tidurku pukul 21.00. Tapi kenyataannya aku baru rebahan di kasur pukul 21.15. Ternyata aku lupa memperhitungkan waktu untuk sikat gigi, cuci muka dan tetek bengeknya. Sejak itu kupatok batas aktivitasku menjadi sampai 20.45, buat mengantisipasi itu.

Pengen sih punya jadwal yang super-produktif dan bisa ngikutin itu. Tapi itu nggak pernah realistis. Yang terbaik yang bisa kulakukan cuma mencari titik tengah optimal antara ekspektasi dan realita.

Sebuah challenge untukmu: di samping jadwal yang udah kusuruh kaubuat sebelumnya, tempelkan kertas ‘Evaluasi Mingguan’ (sesukamu sebetulnya, mau kausimpan di jurnalmu juga nggak masalah). Setiap kali kegiatanmu nggak sesuai sama jadwal, catat kegiatan tersebut dan mengapa bisa demikian. Evaluasi tiap weekend dan revisi jadwalmu buat minggu berikutnya.

Lakukan ini secara rutin (untuk kasusku, dua minggu; selebihnya bekerja di balik kepalaku karena aku malas menulis). Kamu akan punya kesadaran penuh terhadap kegiatanmu dan dengan aktif mengevaluasinya — sebuah bahan untuk resep manajemen waktu yang lezat.

Foto oleh Juli Moreira di Unsplash

Don’t Wait Until Tomorrow. Do Better Now.

Let’s be realistic. Sesehat apa pun mindset yang berusaha kucapai dan sekeren apa pun produktivitas yang berusaha kuterapkan, aku sering banget tiba-tiba merasa malas dan kembali ke zona nyaman anti-produktifku.

Berita baiknya, itu semua nggak jadi beban mental karena aku mulai pulih dari productivity guilt-ku. Berita buruknya, aku semakin sering bermalas-malasan karena itu nggak lagi jadi masalah buatku.

Semakin buruk, karena sekali ‘laziness strike’ ini menyerang, sisa hariku saat itu ikut tenggelam dalam kemalasan. Pikiranku langsung ke posisi, “Gapapalah santai dulu hari ini, besok baru produktif lagi.” Masalahnya lagi, sehari ‘laziness strike’ menyerang, bisa berdampak ke hari-hari berikutnya. Kerennya lagi, sering kali hal-hal yang biasalah yang justru memicu ‘laziness strike’ ini.

Entah malam hari apa pada pekan yang lalu, aku semangat banget, “Besok harus TO UTBK!” Tapi keesokan paginya, notifikasi respon menarik dari temanku terhadap tulisanku, completely menarik perhatianku. Rutinitas pagiku terbengkalai, domino effect mengambil alih; produktivitasku hari itu ikut terbengkalai, sampai rencanaku tadi malam ga direalisasikan.

Ini mengerikan banget. Bisa kamu bayangkan sendiri dampaknya. Dan mindset yang akhirnya berhasil kubentuk adalah, “Don’t wait until tomorrow. Do better now.” Idenya simpel: atas dasar apa nunggu besok untuk berbuat lebih baik? Lakuin aja sekarang. “Just Do It.

Sudah siapkah mindset-mu? Di bagian kedua, aku akan menceritakan teknik produktivitas dan manajemen waktu yang kurekomendasikan karena bekerja untukku, yang mungkin bekerja untukmu juga.

--

--

aan

i write but barely edits—shitty, but raw. current theme: boredom, friendship, mindfulness, inter alia.